Oleh: Yohanes D.B. Petege
Di ujung senja Jayapura, matahari tenggelam di balik Gunung Malaikat (Abe Gunung) menumpahkan cahaya keemasan di wajah-wajah anak-anak Mapia yang tengah menata harapan. Kami anak-anak dari lembah dan pegunungan Gobouge, dari dari berbagai daerah pelosok yaitu Siriwo Mapia Piyaiye Topo dan Wanggar yang disebut SIMAPITOWA, datang membawa mimpi yang sama mengejar cita-cita dan impian kami membangun rumah bagi kebersamaan tempat kami belajar, berdiskusi, berdoa, dan tumbuh menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat dan tanah kelahiran kami di Papua dan lebih khususnya tanah dan alam SIMAPITOWA.
Asrama Swadaya, begitu kami menyebutnya. Sebuah nama yang lahir dari peluh dan doa, dari obrolan panjang di bawah lampu temaram, dari keyakinan bahwa tempat tinggal bukan sekadar tempat tidur, tapi tempat tumbuhnya jiwa.
Kami ingin rumah yang bukan hanya berdinding kayu dan beratap seng, tapi berdiri di atas fondasi kasih sayang, persaudaraan, persatuan dan semangat saling menopang.
Malam-malam di kota ini kadang sunyi, kadang penuh tawa. Ada yang menulis puisi untuk cinta LDRnya di kota mana tidak tahu, ada yang membaca buku dengan mata setengah lelah, ada pula yang hanya menatap langit, berharap bintang mengirim kabar baik dari jauh. Dalam keheningan itu, kami selalu mendengar suara yang sama suara impian yang berbisik lembut:
“Suatu hari nanti, Asrama itu akan berdiri. Tempat kami pulang, tempat kami menjadi saudara.”
Tapi setiap mimpi selalu menunggu restunya sendiri. Seperti gadis manis yang sabar menanti pinangan, Asrama Swadaya masih berdiri dalam bayangan harapan belum tersentuh nyata, namun sudah hidup dalam hati kami Mahasiswa/I RPM SIMAPITOWA. Kadang ragu datang, kadang semangat redup, tapi doa kami tak pernah padam. Kami percaya, restu akan tiba bersama pagi yang baru.
Kami sudah menempuh tujuh kali turnamen, tujuh kali perjuangan tanpa kenal lelah.
Setiap kali lapangan bola menjadi saksi, setiap sorakan penonton menjadi irama perjuangan kami. Kami tak hanya bertanding untuk menang, tapi untuk mengumpulkan harapan dari setiap tetes keringat. Setiap piala bukan sekadar lambang juara, melainkan tanda bahwa kami masih percaya, bahwa impian itu belum mati.
Hasilnya memang tak besar. Uang yang terkumpul tak pernah menyentuh seratus juta.
Namun di balik angka-angka kecil itu, ada nilai yang lebih tinggi dari segala ukuran duniawi nilai kebersamaan kami. Dari situ, kami mulai membeli tanah, menggusur tanah, dan menancapkan talut pondasi pertama dari keyakinan dan semangat kami. Sedikit demi sedikit, seperti tangan yang menenun benang halus, kami merajut masa depan kami sendiri.
Saat dana tak cukup, kami membuka bazar kopi di Waena berdiri di bawah langit Jayapura yang kadang hujan, kadang dingin , sambil menyapa malam dengan senyum yang sederhana. Kami menjual kopi dengan rasa lelah, tapi juga dengan cinta.
Setiap cangkir yang terjual adalah sepotong doa yang menguap bersama aroma arabika, setiap uang kembalian adalah tanda bahwa Tuhan mendengar niat baik kami.
Ada malam ketika kami menunggu pembeli hingga larut, angin membawa dingin ke tulang, tapi semangat tetap menyala di dada. Kami saling memandang, saling menepuk bahu, seolah berkata tanpa suara: “ Masih ada perjuang yang panjang.”
Namun perjalanan ini bukan tanpa luka. Ada suara-suara dari jauh dari saudara kami, dari senior, dari mereka yang tak melihat langsung tapi cepat menghakimi.
“Asrama itu cuma mimpi lama. Kalian hanya main-main dengan uang orang tua.”
Kata-kata itu menampar, seperti hujan deras di tengah jalan panjang, bagai pisau tajam yang menusuk hati. Tapi kami memilih diam tanpa merespon. Kami tahu, tidak semua orang melihat dari dekat. Yang jauh hanya tahu kabar, tapi yang dekat tahu bagaimana tanah itu seperti apa, seperti apa kondisi lokasinya. Kami tahu betul, perjuangan yang tulus tidak selalu dimengerti semua orang. Dan kami belajar untuk tetap berjalan dengan kepala tegak, walau hati kadang perih.
Setiap kali langkah terasa berat, kami menengadah ke langit Jayapura dan hanya berdoa dalam hati: “Tuhan, jika ini jalan kami, jangan biarkan kami berhenti.”
Hari ini, Asrama Swadaya memang belum berdiri kokoh di kota studi ini. Namun di hati kami, ia sudah hidup dan bernafas. Ia hadir dalam tawa setiap pertemuan, dalam kerja keras setiap turnamen, dan dalam mata berkaca-kaca setiap kali kami berbicara tentang masa depan.
Kami tahu, suatu hari nanti, ketika restu turun dari langit dan kasih menyatu di bumi,
Asrama Swadaya akan berdiri megah bukan karena uang, tapi karena cinta yang disatukan oleh Tuhan antara kami mahasiswa/I dan orang tua, senioritas, intelektual pemerintah SIMAPITOWA.
Dan ketika hari itu tiba, kami akan menatap bangunan itu dengan dada bergetar dan berkata pelan: “Inilah dia, gadis harapan yang dulu kami panggil dalam doa. Kini ia berdiri, anggun dan diberkati.”
Sebab yang menunggu dengan setia, akhirnya akan disetujui dengan indah.
Dan asrama ini akan menjadi monumen cinta antara mahasiswa, orang tua, alam leluhur, dan Tuhan yang tak pernah tidur atas niat yang suci.
Motivasi:
Membangun mimpi tidak selalu tentang seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa setia kita bertahan ketika jalan terasa panjang dan sepi. Asrama Swadaya mengajarkan bahwa setiap harapan yang lahir dari hati yang tulus, tidak akan pernah sia-sia. Kita adalah satu rumpun hidup RPM SIMAPITOWA

0 Komentar