Oleh: Oktopianus Magai
Di tanah perbukitan Abepura yang penuh sejarah, di tengah hiruk pikuk kota studi Jayapura, berdirilah satu cita-cita lama yang terus diperjuangkan dengan air mata dan keringat Asrama Syuwada RPM SIMAPITOWA.
Ia bukan sekadar bangunan untuk tidur dan berteduh, melainkan simbol kerinduan kolektif mahasiswa dan pelajar asal Siriwo, Mapia, Piyaiye, Topo, dan Wanggar rumpun besar yang dikenal dengan sebutan SIMAPITOWA.
Asrama ini adalah rumah untuk belajar, membentuk karakter, menanam nilai, dan membangun jati diri anak-anak Papua pedalaman di tengah denyut kota Jayapura. Ia adalah cermin bahwa pendidikan bukan hanya soal buku dan nilai akademik, tapi juga soal tempat bertumbuh, berproses, dan menemukan makna hidup.
Rencana pembangunan Asrama Syuwada bukanlah cerita baru. Sejak tahun 2008, gagasan itu telah hidup di benak para senior dan intelektual RPM SIMAPITOWA. Namun, perjalanan panjang selama 17 tahun berikutnya adalah kisah tentang harapan yang berulang kali tumbuh dan gugur, seperti daun yang layu sebelum sempat berbunga.
Setiap kali rencana disusun, selalu muncul hambatan: keterbatasan dana, minimnya perhatian dari pemerintah, dan kurangnya koordinasi antar pihak internal sendiri. Kadang ada semangat besar di awal, namun perlahan padam di tengah jalan tertimbun oleh kesibukan, kelelahan, dan realitas yang keras. Tetapi satu hal yang tidak pernah hilang, kerinduan akan rumah bersama itu.
Kerinduan yang lahir dari pengalaman pahit mahasiswa yang berpindah-pindah kos karena tidak punya tempat tinggal tetap. Kerinduan yang tumbuh dari rasa malu ketika harus numpang di asrama orang lain, dan dari keinginan sederhana untuk punya rumah yang bisa disebut “milik kami sendiri.”
Dan akhirnya, pada Sabtu, 25 Oktober 2025 sejarah mencatat: batu pertama pembangunan Asrama Syuwada RPM SIMAPITOWA diletakkan. Momen itu bukan sekadar seremoni biasa, melainkan perayaan spiritual atas keteguhan generasi yang menolak menyerah. Air mata mengalir bukan karena sedih, melainkan karena bangga — sebab mimpi yang lama disimpan kini mulai mewujud nyata.
Bagi sebagian orang, asrama hanyalah tempat tinggal mahasiswa. Tapi bagi kami, asrama adalah ruang peradaban kecil Di sanalah lahir solidaritas, kepemimpinan, dan rasa tanggung jawab sosial. Asrama menjadi tempat di mana mahasiswa belajar mandiri, saling mendidik, dan membangun kesadaran bersama sebagai generasi penerus bangsa.
Tanpa ruang seperti ini, banyak potensi anak-anak pedalaman yang akhirnya terabaikan. Mereka datang ke kota dengan semangat belajar tinggi, tapi sering kali kandas karena tekanan ekonomi dan keterbatasan fasilitas. Asrama adalah jawaban atas itu semua: tempat yang menenangkan bagi pikiran, menguatkan karakter, dan melindungi dari kerasnya realitas kota.
Karena itu, pembangunan Asrama Syuwada bukan hanya proyek fisik, tapi proyek kemanusiaan dan masa depan. Ia adalah investasi jangka panjang bagi generasi muda Papua, khususnya rumpun SIMAPITOWA. Pemerintah, gereja, tokoh adat, dan para intelektual Mapia seharusnya melihat ini sebagai panggilan moral, bukan sekadar agenda pembangunan.
Satu hal yang membuat pembangunan ini berbeda adalah semangat swadaya dan gotong royong masyarakat Mapia besar.
Dari orang tua hingga anak-anak kecil, semua turut terlibat. Ada yang menyumbang tenaga, ada yang memberikan bahan bangunan, dan ada yang membantu dengan doa. Mereka sadar bahwa asrama ini bukan milik segelintir orang, melainkan milik bersama tempat bagi anak-anak mereka menjemput masa depan.
Aksi nyata masyarakat inilah yang sering luput dari perhatian publik. Ketika banyak proyek pemerintah berjalan karena anggaran besar, Asrama Syuwada berjalan karena cinta dan kesadaran kolektif
Inilah pembangunan sejati: pembangunan yang lahir dari bawah, bukan dari perintah atas. Dan justru karena lahir dari bawah, ia memiliki ruh perjuangan yang tidak mudah padam.
Namun, realitas di lapangan tetap keras. Setelah peletakan batu pertama, masih banyak pekerjaan menanti. Bahan bangunan, biaya tukang, listrik, air, dan logistik semua butuh dukungan nyata.
Karena itu, peran pemerintah dan para intelektual Mapia menjadi sangat penting. Jangan biarkan semangat ini padam lagi hanya karena kekurangan dana atau perhatian.
Sudah saatnya pemerintah daerah Papua dan kabupaten asal SIMAPITOWA (Dogiyai, Nabire, Deiyai, dan sekitarnya) menaruh perhatian serius pada pembangunan asrama-asrama mahasiswa di Jayapura.
Sebab di sanalah pusat lahirnya pemimpin masa depan. Jika tempat belajar mereka saja tidak layak, bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi pemimpin yang kuat dan berkarakter?
Bagi para intelektual Mapia, ini adalah panggilan moral kembali menatap ke bawah, melihat perjuangan adik-adik yang kini berjuang tanpa fasilitas memadai. Bantuan tidak selalu harus berupa uang, tetapi juga gagasan, jaringan, dan waktu untuk mendampingi proses pembangunan ini.
Setiap tetesan air mata mahasiswa SIMAPITOWA adalah simbol luka yang panjang luka karena janji yang tak ditepati, karena pembangunan yang tak kunjung selesai, dan karena rasa ditinggalkan oleh sistem yang seharusnya melindungi. Namun dari luka itu juga tumbuh tekad baru: tekad untuk membangun dengan tangan sendiri, tanpa menunggu belas kasihan siapa pun.
Sudah banyak nama besar lahir dari rahim perjuangan tanpa asrama, Emanuel Magai (penulis buku Galung Harapan), Yulianus Magai (wartawan Tribun Papua), Hubertus Gobai (Noken Live), Daud Magai (fotografer), dan banyak lainnya. Mereka membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berprestasi. Tetapi bayangkan, jika generasi berikutnya memiliki fasilitas yang lebih layak betapa banyak lagi mutiara dari Mapia dan Siriwo yang bisa bersinar di panggung nasional.
Asrama Syuwada bukan sekadar bangunan; ia adalah manifestasi dari cinta, luka, dan pengharapan kolektif. Ia lahir dari air mata dan akan berdiri karena tekad. Dan ketika bangunan itu nanti kokoh berdiri di bawah kaki gunung Abepura, ia akan menjadi monumen kecil bagi keteguhan generasi SIMAPITOWA generasi yang tidak menyerah pada keadaan, tapi melawan dengan kerja nyata.
Kini, tugas kita semua adalah memastikan pembangunan ini tidak berhenti di tengah jalan. Sebab Asrama Syuwada bukan hanya milik mahasiswa hari ini, tetapi juga milik anak-anak kecil di kampung yang suatu hari akan datang ke Jayapura dengan membawa mimpi yang sama: ingin belajar, ingin maju, dan ingin pulang membawa perubahan.
Penulis adalah mahasiswa asal Mapia, aktif dalam Rumpun Pelajar dan Mahasiswa (RPM) SIMAPITOWA Jayapura

0 Komentar