Semua berawal dari sebuah mimpi mimpi yang sederhana, tapi dalam. Tahun 2007, di sebuah ruangan kecil di Jayapura, beberapa mahasiswa muda RPM Simapitowa duduk melingkar di bawah cahaya redup sebatang lilin.
Tak ada pendingin ruangan, tak ada meja besar, bahkan kursi pun seadanya. Tapi di ruang kecil itu, ada satu hal yang besar:keyakinan“Suatu hari, kita harus punya asrama swadaya sendiri,” kata seorang mahasiswa senior dengan suara pelan tapi tegas. “Bukan sekadar tempat tinggal, tapi rumah bagi doa, tawa, dan perjuangan kita di tanah rantau ini.”
Mereka mengangguk. Ada yang menatap tanah, ada yang tersenyum, ada pula yang diam lama seolah sedang memahat kalimat itu di dalam hati. Hari itu, tak ada yang tahu kapan mimpi itu akan terwujud. Tapi mereka percaya, semua yang lahir dari niat baik akan menemukan waktunya
Mimpi yang Tak Pernah Padam Tahun berganti tahun. Generasi demi generasi datang dan pergi. Sebagian lulus dan kembali ke kampung halaman, sebagian melanjutkan studi ke tempat lain, sebagian menetap di Jayapura untuk bekerja. Namun satu hal tetap hidup di antara mereka bara kecil dari tahun 2007 itu.
Di setiap pertemuan RPM Simapitowa, di antara diskusi dan kegiatan organisasi, mimpi itu selalu muncul. “Bagaimana kabar rencana asrama kita?” tanya seseorang hampir di setiap rapat tahunan. Meski jawabannya belum pasti, semangat untuk mewujudkannya tak pernah padam. Seperti nyala lilin yang bertahan dalam badai, mimpi itu terus menyala dalam hati anak-anak Simapitowa yang datang silih berganti.
Asrama itu, bagi mereka, bukan sekadar bangunan fisik.
Ia adalah simbol kemandirian, simbol perjuangan, dan simbol kasih antar sesama anak rantau dari tanah Dogiyai dan Nabire. Ia adalah wujud dari prinsip Kami bisa berdiri di tanah orang, tapi dengan kaki sendiri.
Delapan belas tahun berlalu
Dan pada tahun 2025, tepat ketika banyak yang mulai berpikir bahwa mungkin mimpi itu akan tetap menjadi mimpi, kabar baik itu datangLokasi telah ditemukan sebidang tanah di bawah kaki Gunung Abe, Jayapura.
Tanah yang dulunya hanya disebut dalam doa dan imajinasi kini menjadi nyata, bisa disentuh dan dipijak. Di atas tanah itulah, generasi baru RPM Simapitowa berdiri membawa sekop, ember semen, dan bendera kecil bertuliskan “RPM SIMAPITOWA Dari Doa Jadi Nyata.” Tanggal 25 Oktober 2025 tercatat sebagai hari bersejarah. Langit Jayapura cerah setelah semalam hujan turun deras. Tanah masih lembap, tapi udara segar membawa rasa syukur yang dalam.
Beberapa tokoh masyarakat hadir: pastor, orang tua, alumni, dan mahasiswa. Wajah-wajah mereka menyimpan cerita panjang tentang menunggu, berharap, dan percaya.
Ini bukan hanya batu pertama,” ujar seorang alumni dengan suara bergetar. Ini batu peneguh janji kami dulu. Janji bahwa suatu hari, Simapitowa akan punya rumahnya sendiri. Ketika doa dinaikkan dan batu pertama diletakkan, semua yang hadir menunduk. Tak ada suara selain desir angin dari gunung dan detak jantung yang berdebar. Beberapa mahasiswa menitikkan air mata, bukan karena lelah, tapi karena sadar bahwa mereka sedang melangkah di atas sejarah.
Pembangunan itu bukan pekerjaan ringan. Batu demi batu diangkat, pasir disaring, semen diaduk, dan setiap tiang didirikan dengan tangan-tangan yang belum terbiasa bekerja kasar. Namun, semangat kebersamaan mengalahkan segalanya.
Tak ada upah, tak ada kontraktor besar hanya niat yang tulus dan tenaga yang bersatu. Setiap sore, setelah kuliah, mahasiswa datang membawa alat seadanya. Yang satu mengaduk semen, yang lain memotong kayu, ada pula yang hanya memegang ember atau menata batu. Namun di antara keringat itu, ada tawa. Di sela kelelahan, terdengar canda dan lagu-lagu daerah dinyanyikan dengan riang.
Kalau dulu mereka bisa bermimpi, maka kita harus bisa mewujudkan,” kata seorang mahasiswa dengan senyum di wajah berdebu. Kalimat sederhana, tapi menjadi bahan bakar setiap langkah. Hari demi hari, tembok mulai berdiri. Tiang-tiang mulai tegak, dan lambat laun, wujud Asrama Swadaya RPM Simapitowa mulai terlihat. Bukan hanya bangunan, tapi monumen kecil dari cinta, persaudaraan, dan ketekunan.
Kini, setiap kali kami melintas di tanah itu, kami melihat lebih dari sekadar bangunan. Kami melihat wajah-wajah generasi 2007 yang dulu memulai mimpi ini. Kami mendengar suara tawa mereka di antara tiupan angin sore.
Kami merasakan kehadiran mereka dalam setiap batu yang kami letakkan. Setiap sudut asrama ini adalah jejak dari seseorang: Doa seorang alumni di gereja kecil, sumbangan kecil dari orang tua di kampung, air mata mahasiswa yang sempat hampir menyerah, bahkan semangat dari mereka yang sudah tiada. Semuanya bersatu dalam satu dinding keyakinan.
Asrama ini bukan hanya milik mahasiswa hari ini. Ia milik semua yang pernah percaya dari 2007 hingga 2025. Ia milik semua anak rantau yang datang membawa harapan dan pulang membawa keyakinan. Ia adalah warisan semangat: bahwa anak muda Papua bisa membangun sesuatu dari nol, dengan tangan sendiri.
Menjelang senja, langit Jayapura berwarna tembaga. Cahaya matahari terakhir menyentuh atap seng yang baru dipasang. Mahasiswa berdiri memandang hasil kerja mereka dengan diam, tapi di dalam dada, ada rasa bangga yang tak bisa diucapkan. “Kami akan menjaga rumah ini,” bisik seseorang.
“Kami akan melanjutkan semangat ini. Kami akan memperjuangkannya untuk anak-anak Simapitowa yang akan datang setelah kami.” Dan di bawah langit yang sama, mungkin dari jauh di kampung, para alumni tersenyum.
Mimpi mereka yang dulu lahir dari lilin dan papan tulis kini telah berdiri tegak di tanah nyata.
Dari ruangan kecil di tahun 2007 hingga batu pertama di tahun 2025, perjalanan ini adalah bukti bahwa keyakinan yang dijaga bersama tidak akan pernah mati. Mimpi boleh tertunda, tapi ia tak akan hilang selama ada generasi yang mau memikulnya.
Asrama Swadaya RPM Simapitowa bukan hanya bangunan ia adalah kisah iman, cinta, dan ketekunan. Ia adalah perwujudan dari kalimat sederhana yang diucapkan delapan belas tahun lalu Kita akan punya rumah sendiri. Kini, rumah itu berdiri. Dan bersama dengannya, berdiri pula martabat, harga diri, dan keyakinan bahwa anak muda Papua bisa menulis sejarahnya sendiri.
Penulis adalah Yosua Mahasiswa Jayapura dan Anggota Aktif Rpm Simapitowa

0 Komentar