Oleh: Yosua Mote (Cuamo)
Langit
Jayapura sore itu berpendar, menyalakan palet oranye keemasan yang seakan menumpahkan cat di kanvas cakrawala.
Di bawahnya, ombak Teluk Youtefa bergulung dengan kelembutan yang nyaris
syahdu, seolah turut berbisik dalam bisikan samudra pada kami—anak-anak rantau
yang tengah mengukir sebait takdir di hamparan tanah asing.
Saya
duduk di atas gundukan tanah yang baru diratakan, di ambang beranda gubuk lusuh
Rumpun Pelajar dan Mahasiswa Simapitowa. Pandangan saya terentang jauh menuju
horizon laut yang tak bertepi. Angin yang membelai membawa aroma garam yang
pekat, namun terselip getiran pahit, serupa sari kehidupan kami di kota ini: keras laksana batu karang, namun berjalin
makna yang tak terperi.
Di
kejauhan bawah sana, lekuk Kota Abepura tampak indah, benderang di bawah senja.
Saya menyulut sebatang rokok; asapnya mengepul perlahan dari mulut dan hidung,
menyatu dengan udara sore, lalu memudar tanpa jejak—seperti harapan yang rentan
hilang ditelan keraguan.
Kami
adalah musafir yang terpisah dari ketenangan kampung dan nyanyian sungai yang
mendamaikan. Di sini, kami dihadapkan pada kurikulum kehidupan yang tak
tertulis: ilmu, pergumulan batin, dan realitas bahwa tidak setiap mata menatap
kami dengan keyakinan. Yang paling meremukkan adalah suara-suara keraguan.
Mereka datang, bukan hanya dari sudut pandang asing, tetapi kerap kali dari
lisan orang tua dan para cendekiawan kami sendiri.
Dalam
dudukku yang paling sunyi, angan diketuk oleh ketukan kenangan. Saya teringat
betul saat berpisah dengan almarhum ayah di kampung halaman. Pesan-pesan
beliau, kini menjelma azimat
yang memberi energi ketika putus asa mencoba merobohkan tekad melawan gemuruh
tantangan zaman yang semakin gesit.
"Mampukah engkau bersaing di kota, Nak?
Janganlah memeluk harapan terlalu tinggi, takutnya kecewa. Hidup di Jayapura
bukan ladang yang mudah digarap, anak-anakku." Tutur ayahku yang kini telah
berpulang ke pangkuan Sang Ilahi, sembari menyodorkan tas bekal yang kusiapkan.
Kata-kata
itu melekat, menjadi bayangan kusam yang senantiasa mengikuti setiap tapak.
Namun anehnya, suara-suara sumbang itu tidak meruntuhkan, justru menjelma
menjadi bara api yang menghangatkan
tekad di rongga dada kami. Kami menolak untuk sekadar menjadi mahasiswa
rantau yang datang dan pergi tanpa jejak. Kami berikrar untuk menjadi monumen
pembuktian, bahwa martabat sejati terlahir dari kerja keras yang gigih, bukan
dari stempel asal-usul.
Setiap
fajar menyingsing, sebelum gerbang kampus terbuka, kami telah terjaga. Sebagian
harus menempuh jarak yang memisahkan diri dari ilmu dengan berjalan kaki. Kami
belajar mengeja waktu: membagi diri antara bangku kuliah, pusaran organisasi,
dan janji suci pada keluarga yang menabur harapan dari kejauhan.
Kami
memanggul kerinduan yang sunyi: rindu pada rumah, pada hangatnya pelukan ibu,
pada derai tawa anak-anak kecil di dusun. Namun, kami sadar, rindu yang
membuncah ini adalah mahar yang harus
dibayar lunas demi mahkota perjuangan.
Kopi
di cangkir sudah tinggal setengah dan batang rokok kembali tersulut untuk yang
kesekian kalinya. Anganku masih terjebak pada mimpi pembangunan asrama yang
didambakan. Kali ini, ingatan menarikku ke malam kami duduk melingkar, disergap
gelap akibat padamnya listrik.
Kami
duduk melingkar, ditemani sebatang lilin yang cahayanya menari-nari, seolah
memberitahu kami bahwa harapan tak boleh mati, tetapi harus hidup. Lilin itu
menjelma cahaya harapan dalam putus asa,
bagaikan embun di padang pasir. Di dalam gubuk itu ada Berto, Yopi, Yeskel, dan
Paskali. Niko dan Melki masih duduk di sudut, mengisap rokok dalam diam.
Sementara Oni, Alpi, dan Okto sibuk menyeduh kopi untuk kami nikmati malam itu.
Dalam
pusaran temaram itu, suara kakak kami, Emanuel
Magai, memecah kesunyian. Suaranya tenang, namun kedalamannya menusuk
relung jiwa.
"Biarkan
mereka memelihara keraguan itu. Justru karena keraguan itulah, kita menemukan
alasan untuk membuktikan bahwa kita adalah mahasiswa yang berbeda. Kita
bukanlah rantau biasa. Kita adalah
rantau yang bermartabat,” ucapnya, mencoba menghembuskan motivasi agar
semangat kami tak boleh mati. "Malam pasti ada, tapi pagi akan menyingsing
sembari memberi kita harapan."
Kata-kata
itu menggema di ruang hati kami yang sempat patah, suaranya jauh lebih lantang
dari gemuruh motor di jalanan. Pelan, tetapi mampu merobohkan dinding putus asa
yang menyekat. Pada momen itu, saya tahu, kami semua berbagi resonansi yang
sama: keraguan bukanlah palang pintu, melainkan sebuah seruan agung untuk bangkit dan bertumbuh.
“Kita
tidak boleh pesimis. Hari Sabtu kita akan letakkan batu pertama pembangunan
asrama swadaya ini. Maka semangat kita harus berlipat. Semangat kita harus
lebih membara, juga kita harus optimis karena membangun asrama swadaya butuh
pengorbanan yang besar,” tambah Kak Eman.
Waktu
merangkak, dan benih perjuangan kami mulai menunjukkan tunasnya. Beberapa
memetik hasil akademik, ada yang didapuk menjadi pemimpin organisasi kampus,
bahkan ketua BEM, dan yang lain berhasil menorehkan penelitian yang diakui
dosen. Perlahan, tirai pandangan orang mulai terangkat. Mereka yang dahulu
menatap dengan sebelah mata, kini mulai memberikan hormat.
Namun,
kemenangan kami tak sebatas piagam. Kemenangan sejati adalah ketika kami mampu
menjaga rendah hati, menghormati
setiap proses yang dilalui, dan memelihara kehormatan daerah asal. Kami sadar,
menjadi mahasiswa rantau adalah mengemban nama, budaya, dan marwah keluarga.
Kami wajib menjaganya, bukan dengan janji yang diucapkan, melainkan dengan aksi yang diwujudkan.
Saya
mendongak ke langit, menarik napas dalam-dalam. Angin malam memeluk tubuh,
membuat bulu kuduk berdiri. Namun rokok dan kopi masih mampu menepis dinginnya.
Bulan menitip cahayanya di antara helaian awan yang masih bergelayutan di
angkasa, mengingatkanku pada momen saat kami duduk di lokasi pembangunan
asrama, kata-kata Kak Eman Magai kembali menggema, memecah dingin yang terus
mengusik.
"Keraguan
para intelektual dan orang tua kami tidak menghancurkan kami. Justru ia adalah cambuk motivasi untuk bekerja lebih
keras dan membuktikan bahwa pandangan itu adalah kekeliruan. Kami adalah
mahasiswa rantau yang bermartabat, yang datang bukan untuk mengemis pengakuan,
tapi untuk menanam pohon kebanggaan."
Saya
mendongak menatap langit Jayapura yang gelap. Kota ini bukan lagi sekadar
pelabuhan rantau, melainkan saksi abadi
perjalanan kami menumbuhkan martabat dari sulur-sulur keraguan. Bahwa kami yang
duduk di tempat ini, pada akhirnya, sedang menuliskan sejarah yang akan
diceritakan; bahwa di tahun 2025, kami adalah pionir yang meletakkan batu
pertama pembangunan asrama swadaya RPM Simapitowa.
Malam
itu, kembali ke gubuk, sebuah pengakuan saya ukir di dinding kecil kamar,
sebagai sumpah yang tak lekang oleh waktu:
“Dari keraguan, kami bertumbuh. Dari perjuangan,
kami bermartabat.”

0 Komentar