Oleh: Emanuel Magai
.”Tanah Surga hanya bagi
pejabat berdasi, para Insfestor, Kapotalis dan Inperalis yang hanya mengejar
kekayaan alamnya. Bagi kami tanah ini
menjelma menjadi neraka: Duka, Kesedihan Kepunahan, Kehancuran, Kematian menjadi
wajar bagai berada di negri neraka.”
Mentari bulan Desember baru saja menetas.
Semesta memamerkan lekuk tubunya, agun. Helai - helai kabut mengepul baik ke
punjak gunung. Embun pagi berbentuk Kristal kecil bulat masih menempel di
dedaunan ubi, tebu dan tumbuhan lainya membentuk pelangi kecil – kecil dianta
dedaunan. Letak kampungku berada di antara pegunungan yang menjulang orang -
orang menyebutnya pegunungan Dogiyai. Gunung itu adalah gunung sakral, tempat
arwa orang-orang meninggal bersemayam. Alamnya masih masih utuh. Hamparan lembah
hijau membentang indah. Pemandangannya sangat memanjakan mata sejauh mata
memandang. Masyarakat sangat ramah hidup dengan hasil alam sendiri dengan cara
berkebun, berburu dan lainya. Hidup disini bagaikan disurga. Aku sempat
berpikir benar juga kata orang bahwa: Papua adalah Surga kecil yang jatuh ke
Bumi.
Hari ini genap memasuki bulan desember. Bulan
dimana tuhan yesus di lahirkan ke dunia 2000 tahun lalu dibetlehem pada masa
raja herodes di roma. Kini Roma menjadi ibu kota Italia. setiap orang di
kampung ini bertukar cerita tentang persiapan Natal. Setiap lorong sudah di
bersikan kemudian dihiasi dengan lampu Natal. Terdegnar bunnyi petasan dimana
mana. Gereja didekorasi indah dengan-bunga bunga dan lampu Natal. Setiap rumah
dan halaman pun juga dibersikan dengan lampu natal. Lagu natal
berkumandang dimana mana.
aku berada di tinggat pendidikan SMP kelas
tiga di Smp Negeri 1 Dogiyai. Sekolahku tidak semewah seperti dikota
mentropolitan Jakarta sana. Tidak ada tenaga mengajar disini. Guru yang
mengajar pun jarang masuk. Entalah mau jadi apa kami ini jika kelak kami
menjadi pejabat di negeri kami sendiri Dengan ilmu yang terbatas ini? katanya
kami diberi Otonomi khusus (Otsus) dalamnya sudah mengatur dan menjamin
Pendidikan, Kesehatan dan Kesejateraan Masyarakat. Tetapi realitas masyarakat
jauh dari kesejateraan sejati, Kesehatan dan Pendidikan masih minim berbanding
terbalik dari eksploitasi alam yang mereka gerut. Tenaga kesehatan tidak pernah
ada di tempat. Guru guru tak jarang
masuk mengajar hanya ada paguru kepala sekolah dan guru honorer satu orang yang
selalu aktif mengjar dari kelas satu hingga kelas tiga. Mungkin itu hanya pemenuhan undang – undang demi
meloloskan agenda Kapitalisme untuk mempermudah merengut sumberdaya alam kami.
cuaca cerah hari ini. dikejauhan sana
pegunungan nan membiru. ungas ungags hutan bersiulan beriringan di belantara
hutan sana mengkin memuji Tuhan dalam bahasa mereka yang tak dapat dimengerti
manusia, sangkahku. Aku bagun mempersiapkan diriku untuk berangkat ke sekolah.
Melipat kasur berukuran persegi empat cukup satu orang untuk tidur. Aku
mengambil posisi doa, aku duduk melipat dan menyilang kedua kakiku. melipatkan
tangan tepat di dadaku mendukan kepala bedoa mengucap syukur kepada Tuhan “
terimakasih Tuhan atas nafas ini, kesehatan dan hari baru ini. sertailah aku,
mama dan bapaku. berkatilah senatiasa orang papua. amin.” Doa spontan yang ku
lambungkan kepada sang maha kalik.
usai aku tunaikan doa, aku bergegas mandi,
lebih tepatnya mandi bebek hanya mencuci muka kaki dan tangan. Kampung kami
berada diatas ketinggian sehingga dinginnya menusuk hingga rogga tubuh. Usai
mandi aku mengenakan baju sekolahku. Sementara mamaku sibuk didapur
menyiapkan sarapan pagi untuk aku dan bapaku.
“ Anak, Mama sudah siapkan sarapan pagi
dimeja, sebelom berangkan makan dulu..” Suara lembut Ibuku terdengar dari balik
pintu kamarku.
“iya maa, nanti saya makan, makasih mah.” Aku
mengiyakan pernyataan Ibuku sembari mengenakan noken rajutan dari kulit kayu
yang mama buat untuk aku.
Rumah kami memang tergolong sederahana
terbuat dari papan kasar. Atapnya ditutupi daun sengk yang beberapa sudut sudah
bolong. Kalau hujan turung Mama dan Bapaku akan berlomba mencari ember atau
belanga untuk menadah air yang masuk agar merembes kemana mana di lantai.
Lantai hanya dicor semen kasar beralaskan tikar. Kamar ada dua tambah ruang
tamu dan dapur. Walaupun tergolong lusu tapi aku sangat bahagia berada disini.
Sudah cukup aku mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku.
Mamaku sudah siapkan sarapan pagi, Ubi rebus
yang sudah di kupas dan daun singkong sebagai sayurnya. Walaupun tanpa daging
tetapi masakan Mamaku, makan terenak yang pernah aku makan. Rasa masakan mama
tidak akan pernah ada didunia ini yang bisa menyamainnya.
“mama, bapa saya berangkat ke Sekolah dulu
ee.” Sambil menyalami orang tuaku.
“ iya nak, hati hati di jalan, Sekolah yang
baik ee.” Sahutan serentak orang tuaku.
Sekolahku tidak jau dari rumahku hanya
sekitar 100 meter sudah sampai di
sekolah.
Orang tuaku petani, Mamaku hanya mengurusi
rumah tangga dan berkebun menanam sayuran umbian, wortel, keladi, kol dan
lainnya. hasilnya Mama akan pergi jual kepasar lalu uangnya Mama akan membeli
beras. Sementara Bapaku berkebun untuk ibuku menanam sayuran dan umbian dan
berburu. Walaupun begitu kami sangat bahagia dengan keadaan ini. Keinginan
orang tuaku adalah anak mereka harus menjadi orang sukses agar kehidupannya
bisa bahagia tidak seperti orang tuannya. Untuk itu aku pun harus sungguh
sungguh bersekolah.
Disekolah mata pelajaran pertama telah
selesai, bel istirahat pun di bunyikan aku dan Marten menuju kanting. Marten
adalah sahabatku dari kecil hingga sekarang.
“ Alfret kita ke kanting ka?” ajak marten.
“boleh, ayo” jawabku singkat.
Kami melangkah keluar dari ruang kelas menuju
kanting Sekolah. Beberapa menit berlalu kami sampai di kanting. Banyak Siswa/I
yang mengantiri. Tentu saja banyak, karna disekolah kami hanya ada satu
kanting. Setelah menunggu beberapa menit kini giriran kami yang memesan.
“bude, kasi moka dua tambah nasi kuning dua!”
ucap Marten.
Setelahnya kami kami menunggu minuman
beberapa menit berlalu kopi moka sudah ada di depan kami. Setelah bayar kami
menuju belakang kanting kami duduk di kursi persegi panjang lalu menikmatinya
sambil membagi cerita.
“Alfret ko tau ka tidak! kemaring lalu di
belakang kebun Kopi masyarakat menemukan mayat seorang lelaki. Lalu masyarakat
ada demo ke kantor bupati untuk mengungkap aktor pembunuh itu, tetapi ironisnya
gabungan Polisi/TNI membubarkan masa demo damai secara paksa. bahkan gas air
mata pun sempat mereka tembakan kearah masa aksi. Akibatnya ada dua masyarakat
yang sampai saat ini matanya bengkak dan tidak bisa melihat. Padahal sekarang
sudah bulan natal mereka harus mencari kebutuhan natal.” Ujar marten.
“ohh iyo, ko benar. memang akhir - akhir
tahun ini banyak masalah yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat setempat
berujung dengan campur tangan TNI/Polisi. Pada hal Negara ini adalah Negara
demokrasi, menjamin masrakat bebas mengekspresikan pendapat mereka dimuka umum,
bebas berkumpul atau melakukan demo danai. Sayangnya polisi yang harusnya
menjadi pengayom masyarakat yang selalu anarkis terhadap masyarakatsendiri,
Marten.” Ucarku, sembari mengeruput kopi moka dan menyantap sesendok nasi.
“Iya ko benar. Beberapa waktu lalu juga ada
masalah juga dengan pengambilan kayu disepanjang jalan trans Papua yang
mengakibatkan saling pukul antara pemilik tanah dengan operator lapangan, masalahnya
berakhir di porles. Yang paling para itu ada isu yang beredar kalau dalam bulan
besok akan ada perusahaan tambang yang akan beroperasi di gunugn Blok B Wabu.
Katanya digunung itu banyak kandungan Emas, Nikel dan lainnya. Tetapi pemilik
hakulayat menolak perusahaan beroperasi areal gunung itu. sebenarnya perusahaan
itu masuk sejak bulan bulan lalu tetapi masyarakat tidak setuju makanya masih
tertunda- tunda. Sesungguhnya gunung itu adalah kebanggan masyarakat intanjaya.”
ucapnya lagi, sambil menghirup secangkir Moka.
“Iya ko benar saya juga sempat membaca berita
kemaring - kemaring. Kawan, ini sangat bahaya, jika perusahaan itu di ijinkan
beroperasi, maka kesejateraan Masyarakat akan semakin terpuruk. Contoh saja
kita bisa lihat perusahaan Kelapa sawit yang ada di Nabire dalam surat MOU
sudah di sepakati untuk menjamin tenaga kesehatan, pendidikan ,air bersi
dan lainya tetapi itu hanyalah upaya untuk meloloskan perusahaan itu, karna
realistis yang terjadi disana kepada pemilik hak ulayat tidak direalisasikan
sesuai kesepakatan MOU. Contoh lain perusahan Tambang bawa tanah terbesar
didunia PT Feeport Indonesia di Timika. Suku asli pemilik hakulayat disana yang
dikenal suku Kamoro kehidupan mereka jauh dari kesejateraan sejati. Uang dan
aspal tidak bisa menjamin Kesehatan, Pendidikan dan kesejateraan Masyarakat.
Buktinya pembuangan rimba perusahaan yang sungainya melewati kampung suku
setempat, mengakibatkan anak anak balita mudah terkena penyakit. Tumbuhan
tumbuhan serta Hewan mati kerecuna. Jika perusahaan ini masuk di daerah
gunung ini kita akan termarjinal kawan. mulai dari kehilangan hak sulung,
tempat berburu tempat keramat dan tempat lainnya. Jadi apa bila benar
perusahaan tambang itu masuk kita akan menderita.” Ucapku Sambil menghela nafas
“Sangat benar Alfret.”
Bel berbunyi untuk mata pelajaran terakhir. Hari
ini Jumaat, hanya dua mata pelajaran setelahnya kami akan pulang kerumah masing
- masing. Satu jam berlalu, aku sudah bergulat dengan mata pelajaran yang tidak
aku sukai, Matematika. Bel pulang berbunyi. Aku siswa pertama yang meninggalkan
kelas.
Aku melangkah pulang melewati gerbang Sekolah
menuju rumah. Suasana Natal sudah Nampak. Diberbagai lorong sudah di hiasi
dengan pohon Natal dan juga pondok Natal. Lagu Natal terdegnar dimana mana. Di
Gereja - gereja juga dihiasi lampu Natal. dipohon yang ada di halaman Gereja.
Banyak umat Kristiani yang mempersiapkan diri untuk menyambut hari kelahiran
sang juru selamat bagi umat Manusia dengan hati damai. Begitu juga dirumah kami
telah menghiasi rumah kami degan lampu Natal, cukup sederhana tetapi hati kami
sangat gembira dan siap sambut Natal ini.
“Semoga Tuhan mendamaikan negeri ini.”
gumamku. Aku tarik nafas pelahan lalu ku hembuskan perlahan.
Malam ini keluarga kecil kami kumpul di ruang
tamu beralaskan tikar yang bergambar hewan hewan di afrika. Bapa dan aku lebih
dulu duduk sementara mamaku menyiapkan makanan malam kemudian duduk disamping
bapa. Bapaku mulai berbicara membagi tugas yang harus saya dan mama lakukan
selama bapa pergi ke hutan.
“Besok pagi saya akan pergi ke hutan
cek jerat. sekalian nati berburu, untuk persiapam pesta hari Natal
nanti. Nanti Mama tolong siapkan sayuran dan bersikan Rumah. Alfret bantu
Mama bersikan Rumah dan selesaikan dekorasi lampu Natal yang kemaring belom selesai.”
ucap Ayaku. Dengan waja yang tenanga dan berwibawa membagi tugas yang harus
kami kerjakan. Kata - kata yang terucap dari mulut yang terhias kumis hitam
panjang batas leher. garis keriput di wajanya sudah mulai Nampak, tanda Ayahku
mulai tua.
“baik bapa, sa kan selesaikan” ucapku. Ayahku
tersenyum menatapku.
“ Pa Ma sa masuk tidur dulu, saya cape
sekali.” Aku berdiri melangkah masuk meninggalkan bapa dan mamaku.
“iyaa nak, silakan” ucap mamaku mengiyakan
untuk aku pergi beristirahat.
Aku melangkahkan kakiku menuju kamarku,
sebelom aku menutup kamar aku menatap wajah bapa dan mamaku. Aku bahagia
dilahirkan di keluarga yang penyawang ini. “tuhan jagalah selalu mama dan
bapaku”gumamku dalam benakku. Kemudian aku menutup pintu kamar dan aku
baringkan badanku di kasur berwarna mera biru bermotif Barcelona.
“Alfret bangun, bangun ada perang di pasar. Kita
segera mengunsi ke gereja. Polisi/TNI mengledak setiap rumah warga orang Papua. kita
harus mengunsi ke Gereja segera.” Kata – kata tergesa terdegnar dari depan
pintu kamarku, Sambil mengetok pintu kamarku. Aku dibuat kaget bangun berdiri
tergopoh gopoh membuka pintu.
“ ada apa? ” Tanyaku degna waja pujat.
Sembari mengosokkan wajahku.
“Sudah nanti baru bapa jekaskan sekarang kita
harus cepat jke gereja umtuk berlindung.” Ucap Ayaku seraya menarik tangan aku
dan ibuku.
Dengan cepat kami meninggalkan rumah bergegas
ke Gereja. Kebahagian menyambut Natal berubah menjadi kepanikan. Degan nafas
berdesa kamipun sampai di Gereja. Disana sudah banyak masyarakat asli Papua
sudah berkumpul untuk minta perlindungan kepada pastor. Aku juga mendapati temanku
Marten.
“Marten, sini dulu” sahutku memanggil dengan
nada terdesak usai lari.
“hey, Alfret ko juga mengunsi kesini”
Malam itu halaman gereja katolik penuh dengan
masyakat spilil yang datang berlindung. Sementara di tengan kerumunan
masyarakat sipil yang duduk dalam kepanikan. Terlihat lelaki tubuh besar
mengenakan jubbah putih.Wajahnya tenang ia berdiri ditengah tengah orang
menyapa setiap orang yang ada di halaman gereja.
“selamat malam umatku. Jangan panic dan
pastikan setiap keluarga yang ada disini sudah lengkap. Jangan sampai ada
anggota keluarga yang tertinggal. Kita akan berdoa minta perlindungan kepada
Tuhan Yesus untuk menyertai dan melindungi kita.’ Ucap pastor itu, sembari
melemparkan senyuman kepada umat yang datang.
Malam ini benar benar sunyi, setiap lorong
jalan dan rumah diselimuti kesunyian. Setiap jiwa kami di penuhi ketakutan,
lagu natal di ganti dengan terikan dan tangisan. Hanya pijar lampu natal yang
berkedip membisu. Dibawa sana, tni terus menggeleda rumah. Menanyai setiap
orang yang mereka jumpai. Orang yang mereka curigai mereka tangkap dan
menginterogasi. Seolah mereka tuan tanah di tanah ini.
Suasana penyambutan Natal yang penuh Suka
cita. Lagu Natal yang bergumandang dimana - mana berubah menjadi bisu seketika.
Lorong - lorong jalan menjadi sunyi. Kepanikan dan ketakutan sudah merengut
alam ini. Hanya terdegar bunyi tembakan dimana - mana. Natal yang kami sambut
dengan suka cita pun ber meubah menjadi njadi keheningan panjang seakan kami
menanti maut menjemput.
Waktu terus berlalu. Kini sudah dua Tahun
kami rayakan Natal di pengunsian, sunggu perayaan natal ini bagaikan rayakan di
neraka. Surga kecil yang aku puja pun kini berubah menjadi Neraka. Natal kali
ini adalah Natal ketiga yang kami rayakan ditempat penyungsian. Ada yang
mengunsi ke kampung sebelah ada pula yang lari kehutan. Kami terosir di negeri
kami sendiri. Pembunuhan penembakan, pemerkosaan terdengar dimana – mana.
Kebahagian yang dulu telah di rengut dari hati orang asli Papua bahkan dari
tanah ini tanah yang di sebut sebagai Surga kecil telah menjelma menjadi neraka
bagi orang asli Papua.
“Semoga
damai dan keadilan yang kami doakan Tuhan kabulkan segera, Amin.”

0 Komentar