Saya menulis ini dari lubuk hati yang paling dalam. Setiap huruf yang saya susun membawa rasa sesak yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata sederhana. Ada perasaan getir yang muncul setiap kali saya menyebut satu identitas yang saya banggakan sekaligus saya perjuangkan: “Mahasiswa.”
Bagi saya, pendidikan adalah pondasi paling kokoh dalam kehidupan manusia. Ia adalah tiang tempat kita berdiri, jendela tempat kita melihat dunia, dan jalan yang menuntun kita menuju masa depan.
Termasuk bagi kami, manusia Simapitowa yang hidup bersama alam, bertumbuh bersama tanah, dan berjuang bersama sejarah. Sebagai anak muda Papua, saya merasa wajib menyampaikan bahwa Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah nyata bukan manuver politik, bukan janji musiman. Langkah yang benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan, menyentuh langsung persoalan yang dirasakan masyarakat, terutama di wilayah Simapitowa.
Hari ini, bukan hanya mahasiswa yang membutuhkan perhatian. Fasilitas sekolah yang minim, ruang belajar yang hampir roboh, guru yang sangat terbatas, dan peserta didik yang berjuang tanpa sarana memadai adalah bukti bahwa ada hal yang jauh lebih mendesak dari sekadar kebijakan tertulis. Di balik semua ini, muncul pertanyaan yang tidak bisa kita elakkan: apakah pejabat yang hari ini memegang kendali pernah kembali mengingat masa kecil mereka sebagai murid? Apakah mereka ingat bagaimana rasanya belajar di sekolah? Apakah mereka ingat perjuangan orang tua mereka menyekolahkan mereka?
Jika kita berjalan lebih jauh ke wilayah Simapitowa, kita akan menemukan kenyataan yang lebih perih. Kali Malia seakan menjadi saksi bisu betapa rendahnya kepedulian terhadap pendidikan. Angi Siriwo seolah membawa setiap keluhan ke hadapan pemangku kebijakan, tetapi suara itu kerap tenggelam dalam kesibukan-kesibukan politik yang tidak berpihak pada rakyat. Bibir ini sebenarnya ingin menjelaskan semuanya, tetapi sering kali kelu, sebab rasa kecewa kadang lebih besar daripada kemampuan untuk menyusunnya dalam kata-kata.
Hujan Wanggar pun seperti tidak henti-hentinya turun, seakan menangisi negeri ini. Sebuah isyarat bahwa Papua, khususnya Simapitowa, sedang terluka dan tidak baik-baik saja. Kita bertanya dalam hati: adakah pahlawan yang benar-benar muncul untuk mengubah keadaan ini? Ataukah kita harus terus menunggu hingga generasi hilang satu demi satu?
Piyaiye, tempat yang menjadi saksi perjalanan hidup masyarakat kami, terus menyimpan cerita tentang betapa hilangnya akal sehat para pengambil kebijakan. Negeri Topo pun tidak diam. Ia mencatat setiap kelalaian, setiap kebijakan yang tidak dijalankan, setiap suara rakyat yang tidak didengar, terutama ketika berkaitan dengan pendidikan—kunci utama kemajuan.
Hari ini, dunia pendidikan di Simapitowa masih berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Banyak sekolah yang berdiri tanpa fasilitas memadai. Ada yang kekurangan guru, ada yang bertahan hanya dengan satu atau dua tenaga pendidik, ada murid yang berjalan berjam-jam melewati medan sulit demi mendapatkan pelajaran yang tidak seberapa karena keterbatasan fasilitas. Akses menuju sekolah pun berat, dan semua ini menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di wilayah kami.
Pembangunan sangat diperlukan. Tanpa itu, pelajar dan mahasiswa asal Simapitowa sulit menggapai pendidikan yang layak dan setara seperti daerah lain di Papua, apalagi di Indonesia.
Organisasi pendidikan Mahasiswa seperti RPM Simapitowa adalah jantung kecil yang terus berdetak di tengah keterbatasan itu. Ia tumbuh dari semangat anak-anak muda yang ingin melihat perubahan. Pemerintah harus memberi perhatian penuh kepada gerakan-gerakan pendidikan lokal seperti ini karena mereka adalah bukti bahwa generasi muda Simapitowa ingin maju, ingin berdiri sejajar, dan ingin membawa perubahan bagi tanah mereka.
Di setiap desa dan distrik, ada tunas-tunas muda yang tumbuh dengan harapan. Mereka ingin menuntut ilmu, ingin berakhlak mulia, dan ingin meraih cita-cita sebagaimana yang kita impikan bersama. Asrama Swadaya RPM Simapitowa adalah salah satu bentuk nyata komitmen itu. Tempat di mana harapan dirawat, mimpi dilindungi, dan semangat dipupuk.
Karena itu, kami mengajak Pemerintah Daerah untuk hadir secara konkret. Bukan hanya dengan kunjungan seremonial, tetapi dengan kebijakan yang berdampak.
Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan anggaran yang menyentuh kebutuhan dasar pendidikan.
Kami memohon doa restu dan dukungan agar tercipta lingkungan pendidikan yang kondusif, sehingga organisasi pendidikan seperti RPM Simapitowa dapat terus maju, bertumbuh, dan melahirkan generasi yang mampu membawa perubahan besar bagi tanah Simapitowa.
Penulis adalah Frengky TiginMahasiswa Jayapura Anggota RPM Simapitowa di Jayapura

0 Komentar